Desakan Meningkat: Ahli Hukum Sebut Jokowi Layak Dihadirkan di Sidang Lembong
Sidang yang melibatkan Thomas “Tom” Lembong, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tengah menjadi sorotan publik. Tidak hanya karena posisinya yang strategis di masa lalu, tetapi juga karena nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut-sebut dalam sejumlah pernyataan dan dokumen yang berkaitan dengan pokok perkara. Sejumlah ahli hukum pun mulai menyuarakan pandangan bahwa Jokowi seharusnya dihadirkan dalam persidangan, bukan untuk diadili, melainkan sebagai saksi kunci yang relevan dalam pengungkapan fakta.
Peran Jokowi Dinilai Strategis dalam Perkara
Beberapa ahli hukum tata negara dan pidana menyebut bahwa posisi Presiden dalam kasus ini bukan dalam konteks tuduhan, tetapi lebih pada posisi pemegang kebijakan dan pemberi mandat saat Tom Lembong menjalankan tugasnya di pemerintahan.
“Jika Presiden pernah memberikan arahan, persetujuan, atau kebijakan tertulis maupun lisan yang menjadi dasar tindakan pejabat negara, maka kehadiran beliau sebagai saksi sangat relevan untuk menguji dasar kewenangan dan pertanggungjawaban pejabat tersebut,” ujar Prof. Herman Siregar, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia.
Menurutnya, pemanggilan Presiden tidak melulu berarti politisasi, tetapi bagian dari proses hukum yang transparan dan utuh.
Desakan Meningkat dari Masyarakat Sipil
Desakan agar Jokowi dihadirkan dalam sidang Lembong tidak hanya datang dari kalangan akademisi hukum. Beberapa organisasi masyarakat sipil menilai bahwa pengadilan yang berpijak pada prinsip “due process of law” harus menghadirkan semua pihak yang memiliki informasi atau keterlibatan kebijakan.
Apalagi, sejumlah pernyataan Lembong dalam pembelaannya menyebutkan bahwa tindakan yang ia ambil merupakan hasil koordinasi dan komunikasi langsung dengan Presiden, terutama dalam konteks kebijakan investasi dan pengelolaan proyek strategis nasional.
Hambatan Konstitusional dan Etika Politik
Meski demikian, menghadirkan Presiden dalam ruang sidang bukan perkara sederhana. Menurut Undang-Undang, seorang Presiden memiliki kekebalan hukum tertentu selama menjabat, terutama untuk urusan kebijakan pemerintahan. Namun, hukum juga mengatur bahwa Presiden dapat memberikan keterangan secara tertulis atau lewat perwakilan jika memang dibutuhkan oleh pengadilan.
Beberapa ahli mengusulkan mekanisme kompromi, seperti pemberian kesaksian tertulis yang terverifikasi, agar sidang tetap berjalan tanpa melanggar norma ketatanegaraan.
“Hukum tidak boleh berhenti di hadapan jabatan. Transparansi itu tak mengenal batas pangkat, apalagi jika demi keadilan yang substantif,” ucap seorang pegiat antikorupsi dari LSM hukum nasional.
Antara Keadilan dan Kepantasan
Di sisi lain, wacana ini juga menimbulkan perdebatan etis. Ada yang menilai bahwa pemanggilan Presiden—meski dalam kapasitas saksi—dapat menimbulkan kesan politis dan mengganggu stabilitas pemerintahan. Namun ada juga yang justru melihatnya sebagai momentum penguatan demokrasi hukum, di mana semua pejabat publik—bahkan Presiden sekalipun—bersedia terbuka terhadap proses hukum.
Desakan agar Presiden Jokowi hadir dalam sidang Thomas Lembong mencerminkan harapan publik terhadap proses hukum yang terbuka, menyeluruh, dan berani menyentuh akar peristiwa. Bukan soal siapa yang salah, tapi bagaimana hukum bekerja untuk memastikan kebenaran tidak terputus oleh batas jabatan.
Jika kebenaran adalah tujuan, maka semua saksi penting layak didengar — termasuk mereka yang berada di puncak kekuasaan.