Ramai Soal Royalti Musik: Pengusaha Mal Angkat Bicara
Polemik seputar kewajiban pembayaran royalti musik kembali memanas. Kali ini, perhatian publik tertuju pada pusat-pusat perbelanjaan alias mal, yang disebut-sebut mulai dikenakan kewajiban membayar royalti atas lagu-lagu yang diputar di area publik. Respons dari kalangan pengusaha pun tak bisa dihindari. Mereka akhirnya angkat bicara dan menyampaikan kekhawatiran terhadap regulasi yang dinilai membebani pelaku usaha.
Musik Jadi Beban Tambahan Operasional
Selama ini, musik dianggap sebagai elemen pelengkap yang menciptakan suasana nyaman di pusat perbelanjaan. Lagu-lagu populer kerap diputar di lorong mal, tenant, hingga area food court untuk menciptakan atmosfer santai bagi pengunjung. Namun, dengan diberlakukannya regulasi mengenai kewajiban pembayaran royalti kepada pemegang hak cipta, para pengusaha mal kini harus menghitung ulang biaya operasional mereka.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menyatakan bahwa pihaknya tidak menolak prinsip penghargaan terhadap hak cipta. Namun ia menilai penerapan aturan ini perlu kejelasan, sosialisasi yang komprehensif, dan skema pembayaran yang adil.
“Bukan tidak mau bayar, tapi pelaksanaannya jangan sampai membingungkan dan justru menyulitkan pelaku usaha, apalagi di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi,” ungkap Alphonzus.
Minta Regulasi Ditinjau Ulang
Pengusaha mal juga meminta agar regulasi royalti ini ditinjau ulang, khususnya untuk ruang publik non-komersial yang hanya menggunakan musik sebagai latar suasana, bukan sebagai bentuk hiburan utama atau pertunjukan langsung.
Beberapa pengusaha mempertanyakan, apakah pemutaran musik dari layanan streaming berlisensi di ruang publik juga akan dikenakan royalti tambahan. Selain itu, belum adanya kejelasan tentang siapa yang menarik dan mengelola dana royalti ini juga menimbulkan tanda tanya besar.
“Kami butuh transparansi—siapa yang menarik, berapa jumlah yang adil, dan ke mana aliran dananya. Jangan sampai justru ada tumpang tindih antar lembaga kolektif manajemen,” ujar salah satu pengelola pusat perbelanjaan di Jakarta.
Pelaku UMKM dan Tenant Ikut Terdampak
Beban royalti ini tak hanya dirasakan oleh pengelola mal sebagai institusi, tapi juga tenant kecil dan pelaku UMKM yang menyewa ruang. Mereka khawatir akan dibebani biaya tambahan apabila menggunakan musik di dalam toko mereka.
“Kalau semua tenant dipaksa bayar royalti hanya karena pasang speaker kecil dan putar lagu, bisa-bisa mereka mundur. Mal jadi sepi, yang rugi semua,” ujar pengelola tenant kuliner di sebuah pusat belanja di Tangerang.
Pentingnya Dialog Bersama
Sejumlah pihak mendorong agar dilakukan dialog terbuka antara pelaku usaha, pemerintah, dan lembaga manajemen kolektif royalti agar solusi yang diambil tidak memberatkan siapa pun. Pendekatan edukatif dan pengawasan yang transparan dinilai penting agar pelaksanaan aturan tidak menimbulkan resistensi.
Pemerintah pun diminta hadir sebagai mediator, bukan hanya pembuat regulasi, demi memastikan bahwa hak cipta tetap dihargai tanpa membunuh aktivitas ekonomi yang sah.
Royalti musik adalah bentuk penghargaan terhadap karya kreatif. Namun dalam pelaksanaannya, regulasi tersebut harus dibangun atas dasar transparansi, keadilan, dan logika bisnis yang sehat. Suara pengusaha mal yang kini mulai menggema adalah peringatan bahwa kebijakan bagus pun bisa berbalik merugikan bila tidak dijalankan dengan cermat dan dialogis.
 
 
                    
 
                                     
                                     
		         
		        