Yuan di Ujung Tanduk: Trump Serang China Bertubi tubi dan Ini Efeknya
Ketegangan ekonomi antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali membara, dan kali ini, mata uang yuan menjadi sasaran utama dampaknya. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, terhadap ekonomi China kembali menyeruak ke permukaan, memicu ketidakpastian pasar global dan mengguncang nilai tukar yuan ke titik yang mengkhawatirkan.
Bukan sekali dua kali, Trump dikenal dengan retorikanya yang keras terhadap Tiongkok, terutama sejak masa kampanye hingga menjabat sebagai Presiden. Namun, dampak nyata dari rangkaian kebijakan dan pernyataan keras tersebut masih terasa hingga kini, bahkan di era pasca-kepemimpinannya.
Retorika Tajam dan Kebijakan Agresif
Selama masa kepemimpinannya, Trump meluncurkan perang dagang besar-besaran terhadap China. Dimulai dari pemberlakuan tarif tinggi terhadap produk-produk impor asal China, pembatasan teknologi, hingga kampanye global untuk membatasi ekspansi perusahaan teknologi China seperti Huawei dan TikTok.
Retorika Trump pun kerap membakar pasar. Setiap kali ia melontarkan kritik pedas terhadap China—baik soal manipulasi mata uang, pencurian kekayaan intelektual, maupun dominasi ekonomi global—pasar keuangan langsung merespons, dan yuan kerap jadi korbannya.
Yuan Tertekan, Pasar Gelisah
Efeknya sangat terasa di pasar valuta asing. Yuan, yang selama beberapa tahun terakhir berupaya stabil, kembali melemah setiap kali hubungan dua negara memburuk. Ketidakpastian yang muncul akibat ancaman sanksi dan ketegangan geopolitik mendorong investor global melarikan dana ke aset yang lebih aman, seperti dolar AS dan emas.
Akibatnya, yuan menghadapi tekanan bertubi-tubi, tidak hanya dari faktor ekonomi domestik seperti perlambatan pertumbuhan, tetapi juga dari tekanan eksternal akibat retorika politik luar negeri yang keras.
“Ketika pemimpin global seperti Trump berbicara soal ‘memukul balik China’, pasar tidak hanya mendengar kata-kata—mereka bereaksi,” ujar seorang analis ekonomi global.
Efek Domino ke Ekonomi Global
Kelemahan yuan tak hanya berdampak pada China. Sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia, fluktuasi nilai mata uang Tiongkok juga menimbulkan gejolak di pasar negara berkembang, termasuk Asia Tenggara. Negara-negara yang sangat tergantung pada ekspor ke China atau investasi dari Beijing turut merasakan guncangan.
Selain itu, persaingan nilai tukar antara yuan dan dolar AS memicu kekhawatiran akan perang mata uang, di mana negara-negara saling melemahkan mata uangnya demi mempertahankan daya saing ekspor.
Apa yang Terjadi Selanjutnya?
Meskipun Trump sudah tidak lagi menjabat, pengaruh ucapannya masih cukup besar di kancah politik dan ekonomi global. Dalam beberapa pernyataan terbarunya, ia tetap menggaungkan nada keras terhadap China, terutama menjelang pemilu AS mendatang.
Investor dan pelaku pasar kini dihadapkan pada dua ketidakpastian: arah kebijakan ekonomi China yang lebih konservatif pasca-pandemi, serta potensi kembalinya Trump ke kancah politik dengan agenda proteksionisme baru.
Mata Uang, Ego, dan Politik
Yuan berada di ujung tanduk bukan semata karena angka ekonomi, tetapi karena tarik-menarik kepentingan geopolitik. Ketika ekonomi menjadi alat politik dan retorika menjadi senjata global, pasar menjadi arena pertarungan yang paling sensitif.
Dalam dunia yang saling terhubung ini, satu ucapan dari tokoh kuat bisa mengguncang neraca negara. Dan di tengah semua itu, yuan harus terus bertahan dalam badai—menjadi simbol perjuangan ekonomi China menghadapi tekanan dari luar.