Wamensos Tegaskan Peran Kepala Sekolah Rakyat dalam Mendorong Revolusi Sosial Positif
Pendidikan bukan hanya soal angka, nilai, dan ijazah. Lebih dari itu, pendidikan adalah alat transformasi sosial yang ampuh. Dalam sebuah pernyataan inspiratif, Menteri Sosial (Wamensos) Tri Rismaharini menegaskan bahwa kepala sekolah rakyat memiliki peran sentral sebagai agen perubahan, yang mampu mendorong lahirnya revolusi sosial positif di tengah masyarakat.
Pesan tersebut disampaikan dalam forum nasional para pengelola dan kepala Sekolah Rakyat yang digelar di Jakarta. Acara ini menjadi wadah dialog antara pemangku kebijakan dan pelaku pendidikan non-formal yang selama ini berperan langsung dalam menjangkau kelompok marginal.
Sekolah Rakyat: Pilar Pendidikan Alternatif
Sekolah Rakyat dikenal sebagai bentuk pendidikan non-formal yang tumbuh dari kebutuhan masyarakat akar rumput—di desa, kampung kota, hingga wilayah terpencil. Dengan pendekatan berbasis komunitas dan fleksibilitas kurikulum, sekolah ini menjadi harapan bagi anak-anak dan orang dewasa yang tidak tersentuh sistem pendidikan formal.
Wamensos menyatakan bahwa dalam ekosistem ini, kepala sekolah bukan sekadar administrator. Mereka adalah arsitek sosial, yang merancang cara belajar yang membebaskan dan memberdayakan.
“Kepala Sekolah Rakyat bukan hanya mendidik, tapi juga membentuk kesadaran kolektif. Mereka memantik perubahan di lingkungan yang paling dasar—keluarga dan komunitas,” ujar Risma.
Revolusi Sosial: Dimulai dari Ruang Belajar
Konsep revolusi sosial yang dimaksud Wamensos bukanlah perubahan dengan kekerasan atau pemaksaan ideologi, melainkan pergeseran pola pikir masyarakat menuju kemandirian, kesetaraan, dan partisipasi aktif. Pendidikan adalah jalan paling damai dan efektif untuk mencapainya.
Sekolah Rakyat mengajarkan banyak hal yang tidak ditemukan di buku teks: membangun solidaritas, mengenali hak sosial, memahami lingkungan, hingga mengelola ekonomi rumah tangga. Hal-hal inilah yang menjadi pondasi perubahan sosial dari bawah.
“Kami ingin agar anak-anak dari keluarga miskin tidak hanya bisa membaca, tapi juga percaya diri, bisa bermimpi, dan tahu bagaimana memperjuangkan masa depan mereka,” tambah Wamensos.
Tantangan dan Harapan
Meski diakui strategis, eksistensi Sekolah Rakyat masih menghadapi tantangan besar: minimnya dukungan anggaran, keterbatasan fasilitas, dan pengakuan formal yang belum merata. Dalam forum tersebut, Wamensos berjanji untuk mendorong kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat sipil guna memperkuat posisi sekolah rakyat sebagai mitra negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ia juga menyampaikan pentingnya pelatihan dan penguatan kapasitas kepala sekolah agar mereka mampu menjawab tantangan zaman, seperti digitalisasi pendidikan dan isu ketimpangan sosial yang makin kompleks.
Pernyataan tegas Wamensos menjadi pengingat bahwa pendidikan yang sejati tidak selalu lahir dari bangunan megah dan kurikulum rumit, tetapi dari ruang-ruang kecil yang tulus dan penuh semangat mengubah hidup. Kepala Sekolah Rakyat adalah para pelopor di garis depan, yang bekerja senyap namun berdampak nyata.
Revolusi sosial yang positif tidak datang dari atas, tapi dari bawah—dari kelas-kelas kecil di gang sempit, di mana mimpi-mimpi sederhana mulai dirajut.